Kemarin siang, saya mendapat review pertama atas buku “Dengan Pujian, Bukan Kemarahan”. Tak jauh-jauh, dialah Fatimah Syakura, yang tidak tahu saya menulis buku itu, yang memuat banyak sekali tentangnya. Sebenarnya saya sudah memberitahunya tentang catatan-catatan saya dan meminta persetujuannya, namun karena usianya saat itu masih jauh dari dewasa, mungkin dia belum bisa membayangkan secara utuh, apa artinya ‘menulis buku’ itu.
Dulu saya sempat khawatir. Khawatir Fatimah di saat besarnya nanti, akan protes berat atas catatan-catatan saya tentangnya yang terpublikasikan. Kekhawatiran ini masih saja ada di pikiran, bahkan hingga buku itu hadir di rumah.
Saya tak begitu percaya diri untuk memperlihatkannya pada anak-anak, hingga mereka menemukannya sendiri, dan mulai membaca sedikit demi sedikit.
Dengan berdebar-debar, diam-diam saya menunggu reaksi Fatimah yang membaca
sambil lalu. Dia tertawa, terkejut, dan bergumam-gumam.
“Mama, apa itu obyek percobaan?”
“Begini. Kalau misalnya Fatimah mau belajar tentang pencernaan amfibi, tahukan,
amfibi?”
“Iya.”
“Fatimah ambil kodok, lalu membuka perutnya, memeriksa pencernaannya. Kodok
itu disebut obyek percobaan.”
“Jadi, saya ini obyek percobaan Mama, apa berarti perut saya dibuka?”
“Ooo… bukan. Maksudnya itu, waktu Fatimah lahir, sebagai anak pertama, Mama
belum punya pengalaman sama sekali dalam mengasuh anak. Karenanya, Fatimah
yang jadi obyek percobaan Mama, pada Fatimah, Mama cobakan bermacam-macam
cara mengasuh anak. Mama belum tahu pasti apakah cara begini dan begitu bagus
atau tidak, sampai selesai mencobakaannya pada Fatimah. Itu karena Fatimah anak
pertama.”
“Apa maksudnya ‘Dengan Pujian bukan Kemarahan”?”
“Hmh… er… maksudnya, anak-anak itu lebih bisa baik kalau sering dipuji, bukan dimarahi.”
“Apa itu empati?”
“Mengerti perasaan orang. Misalnya kalau orang bilang, ‘saya tidak suka mendengar bunyi-bunyian itu’. Kita berusaha supaya tidak menimbulkan bunyi-bunyian itu, bukan sebaliknya malah makin membunyikan keras. Itu namanya empati.”
“Fatimah punya empati?”
“Ya, sekarang Fatimah makin berempati. Lebih dari saat Mama menulis buku itu.”
“Adek Didi juga?”
“Ya, pada dasarnya semua anak lahir dengan rasa empati. Semakin kecil seorang anak, semakin murni rasa empatinya. Kadang-kadang ada orang yang tumbuh besar tapi rasa empatinya makin terkikis.”
“Kenapa bisa, Ma?”
“Macam-macam. Mungkin karena di waktu kecil dia kurang menerima kasih sayang, kebutuhannya tidak dipenuhi dengan baik, lebih banyak dikucilkan, dimarahi, atau disalahkan.”
“Mama menulis buku ini sejak kita masih di Senmarudai Danchi?”
“Iya, ada juga.”
“Mama, dulu saya gampang bergaul, seperti Toto-chan?”
“Iya.”
“Tapi kenapa waktu belum sekolah saya tidak bisa punya teman anak-anak Jepang, malah kakek-kakek pembawa kotak serangga?”
“Karena anak-anak Jepang pada dasarnya tertutup dengan orang lain, apalagi orang asing. Tapi ketika sekolah, Fatimah bisa punya banyak sekali teman, kan?”
Fatimah mengangguk-angguk.
Sehari kemudian, Fatimah memeluk buku itu, dan mengatakan, “Terima kasih Mama,
sudah menulis buku ini. Saya terharu. Buku kenyataan.”
—
komentar fatimah pasti membanggakan mbak nesia:)
Tepatnya : melegakan :-)).
Seneng deh punya anak seperti fatimah ya mbak? Fatimah pasti jga bangga punya mama seperti mbak.
subahanallah..ada sedikti pelajaran dr dialoq fatimah dan mamanya yang menjadi hikmah besar untuk ku sebagai mama dr dua putriku..anakku yang pertama sangat empati,,apakah mungkin karena aku lebih banyak marah dan menyalahkannya…maafkan mama nak,,
Nes, ini aty, teman SMA. Terima kasih untuk cerita-ceritanya selama ini. Cerita Nesia dengan hati seorang ibu banyak menjadi inspirasi bagi saya sebagai seorang ibu dan dokter anak-anak.Hati anak-anak masih putih, kitalah yang sesungguhnya menjadikan mereka hitam, merah, atau tetap putih..
Terima kasih, Aty. Maaf baru menanggapi, sejak kembali ke tanah air, tidak banyak waktu yang saya alokasikan di depan komputer. Wah, sudah jadi dokter anak, yah… Sukses ya.
Assalamu’alaikum Kak, saya mau beli bukunya dimana ya? Atau bisa pesan? Terimakasih 🙂
maaf baru balas…, saya coba hubungi penerbit ya… terima kasih
Assalamualaikum wr wb.
Apa buku tersebut masih diterbitkan? Apa judulnya? Sepertinya menginspirasi. Terima kasih 😀
Terima kasih… Semoga dalam waktu dekat akan terbit versi revisi…
Terima kasih… dalam proses revisi
maaf… belum diterbitkan lagi…